
Suatu saat, seorang ustadz memperkenalkan saya dengan seseoranng pengusaha. Sebelmnya, saya hanya pernah berbicara dengannya melalui telepon. Dia bukan pengusaha kecil-kecilan. Tak kurang dari tambang emas, perkebunan, dan aneka perusahaan lain yang dmilikinya. Penghasilannya mencapai puluhan milyar rupiah perbulan. Kabarnya, ia sampai bingung, uangnya itu mau dipakai apa lagi. Sejumlah rumah megah dan mobil mewah dia miliki, cincin seharga Rp 500 juta lebih menghiasi jariya. Hobinya mengoleksi berbagai benda antik seperti lukisan seharga 35 milyar hingga gading gajah kuno aftrika. Semua terbeli, seperti kerupuk.
Itu dulu. Ketika akhirnya dia berjumpa dengan saya yang ada tinggal keluh kesah. Yang dia sebut – sebut hanya utang dan utang. 26 Milyar harus lunas dalam tempo 6 bulan, tanpa dia tahu mau dibayar dari mana. Usaha tambang emasnya tak lagi bersinar, bahkan mulai berkarat. Padahal, dimasa kejayaannya “karat” adalah favoritnya. Di saat yang sama, kini perusahaannya yang lainnya ikut surut. Uang tunai tak lagi di tangan, habis untuk membayar tagihan. Koleksi benda antiknya tak bisa jadi solusi, macet total.
Bayangkan, seorang pengusaha dengan penghasilan puluhan milyar perbulan. Kini berada di titik nol. Tabungan nol, penghasilan nol. Tahukah anda, mengapa bisa terjadi ? Gaya hidup. Itu biang keladinya. Kemewahan dan gaya hidup mahal yang dipilihnya membuat sang pengusaha tidak menghargai uangnya dengan cara yang benar. Dia lupa menabung secara rutin, melakukan investasi yang sehat, dan lupa membangun kekayaan yang sesungguhnya. Gaya hidup mahal memangsanya seperi Silent Killer. Hidup mewah membuatnya terbuai dalam kenyamanan tingkat tinggi. Padahal, disaat yang sama, penghasilan kian keropos, dan sumbu bom waktu mulai menyala. Berikutnya mudah ditebak. Tanpa bisa di cegah, kini dia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.
Satu kisah lagi, ini bukan dari kalangan pengusaha. Teman saya, seorang profesional lulusan Jerman yang cemerlang. Di puncak karirnya, posisi direktur sevuah perusahaan otomotif memberinya penghasilan tak kurang dari Rp 100 juta sebulan. Lazimnya direktur, dia memperoleh fasilitas mobil dinas dari perusahaan. Tapi dengan penghasilannya yang cukup besar ia merasa perlu membeli mewah juga. Toh uangnya ada dan cukup. Dia merasa lebih percaya diri setelah dua mobil mewah mengisi garasinya. Rumah besar dikawasan perumahan elit itu terasa lengkap.
Sayangnya, sebuah pertemuan yanng tak disengaja membuat saya terhenyak. Awal tahun 2009 yang lalu, saya dapati dia sedang berjalan kaki dan modar-mandir menunggu taksi. Gaya menterengnya sudah luntur sama sekali. Pemandangan itu membuat saya pilu. Pasalnya, saya juga mengenal banyak matan anak buahnya, dan mereka hidup nyaman. Padahal ketika masih bekerja diperusahaan otomotif itu, penghasilan mereka jelas lebih kecil dibandingkan san direktur. Lagi-lagi gaya hidup yang jadi biang keladinya!.
Guru-guru di kampung saya, di Desa Bawang, Batang. Mempunyai penghasilan sekitar Pr 1,3 Juta sebulan. Dengan jumlah itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Ketika pemerintah beranji hendak menaikan gaji guru hingga 2 juta sebulan, banyak yang berpikir bakal bisa menabung. Setidaknya Rp 300.000 sebulan. Faktanya, begitu gaji guru betul-betul naik, ternyata menabung tetap barang langka. Gaji mereka nyaris naik 100%, tapi para guru itu tetap merasa kurang dengan penghasilannya.
Utang buruk membuat banyak orang kehilangan kehidupan karena dikejar-kejar dept collector. Contoh utang buruk yang paling banyak di Indonesia adalah kartu kredit. Lebih berbahaya lagi karena kartu kredit dianggap sebagai gaya hidup. Batas pinjaman yang ada dalam kartu kredit sering dianggap sebagai batas spending. Yang dipikirkan oleh pemegangnya bukan berapa sisa yang harus dibayar, tetapi berapa batas yang harus dihabiskan.
Tiga kisah nyata diatas mengundang pertanyaan besar : mengapa ? mengapa orang yang bertahun-tahun bekerja keras, bahkan dengan penghasilan luar biasa besar, ternyata tidak bisa jadi orang kaya ? sebaliknya, mengapa orang yang berpengnhasilan biasa saja justru bisa jadi kaya. Dan hidup lebih nyaman tanpa dikejar-kejar hutang.
Sebenarnya, kisah ini lebih tragis pun saya alami. Bersemangat membangun usaha, gagal, terlilit utang, dan dikejar dept collector adalah episode pahit dalam hidup saya. Ya, saya pernah terjebak le lubang hutang yang sangat dalam. Ketika sempat bangkit, saya kembali jatuh untuk yang kedua kalinya, bahkan dengan beban utang yang lebih besar. Saya selalu mengenang masa itu sebagai titik paling krisis dalam hidup saya.
Alhadulillah, saya akhirnya bisa bangkit perlahan – lahan. Dengan perbaikan disana- sini, saya bangkit dengan pengetahuan, pengalama, dan mentalitas lebih tangguh. Ternyata, pengalaman saya saat jatuh bangun diperhatikan oleh teman-teman sesama pengusaha, dan mereka sering datang kesaya untuk bercerita. Apa saja yang biasa kami perbincangkan ? simak berikut ini.
Menurut saya, membangun kekayaan pribadi, kekayaan keluarga, kekayaan perusahaan, atau membangun kekayaan bangsa sekalipun, prinsipnya sama. Sama-sama sederhana. Menjalankan prinsip sederhana ini memang tidak selalu mudah, tetapi menjalankan prinsip yang rumit sudah tentu susah. Sebelum membahasnya mari kita telusuri beberapa kesalahan berpikir yang lazim di masyarakat kita :
- Jika penghasilan naik, maka kesejahteraan akan meningkat, berarti semakin kaya
- Jika penghasilan semakin tinggi maka hidup jadi semakin mudah
- Jika penghasilan semakin tinggi maka tabungan semakin banyak.
Kenyataannya, yang lebih sering terjadi tidak seperti itu. Banyak orang yang jatuh miskin justru setelah penghasilannya meningkat. Kehidupannya juga semakin rumit, utangnya bertambah banyak. Penghasilan yang semakin besar jadi mudah mereka mengubah gaya hidup. Merasa mampu membayar, mereka berani hidup dengan standar yang lebih mahal. Semakin lama semakin terlena dan semakin berani.
Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk membiayai lif style mereka yang baru. Ujung-ujungnya gaya hidupnya itu menuntut ongkos yang jauh lebih tinggi dan kenaikan incomenya. Dan sayangnya orang yang sudah terlanjur menikmati nyamannya peningkatan gaya hidup akan sangat sulit meninggalkannya. Akibatnya, dia akan melakukan apapun untuk mempertahankannya. Tak sanggup rasanya jika harus kembali kegaya hidup lama, sebelum penghasilannya meningkat. Sudah duduk lupa berdidir.